iklan

loading...

Posisi Peneliti Dalam Kebijakan Rekruitment ASN untuk Peningkatan Daya Saing

Assalamilaikum Warahmatullahi Wabarakatuhu,
Saudara-saudara yang saya hormati,
Mengawali pidato saya ini, pertama-tama saya mengajakk kita semua untuk selalu bersyukur kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, atas segala nikmat dan karunia-Nya sehingga pada hari ini kita masih bisa berkumpul dalam Upacara Wisuda Mahasiswa Program Sarjana dan Pasca SarjaUniversitas Borobudur. Pada kesempatan baik ini saya akan mengangkat tema yang penting bagi kalagan civitas akademika, bukan hanya untuk para dosen namun juga mahasiswa yang kelak nantinya seteah lulus mungkin ada diantara yang mengambil profesi sebagai dosen atau peneliti.
Universitas sensiri sebagaimana yang kita ketahui yang salah satu unsurnya adalah peneliti juga harus mengedepankan aspek ini, bukan hanya oengajaran saja, karena itu pemerintah Joko Widodo dan Jusuf Kalla mengambil keputusan demi untuk menyatukan dunia Perguruan Tinggi dan pengedepanan riset kementrian yang menangani pun kemudian disatukan menjadi Kementrian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi.
Sumber : https://pixabay.com/en/bundestag-government-building-851739/
Marilah kita sejenak melihat negeri yang kita cintai, Indonesia, di kancah global. Worldd Ekonomic Forum telah merilis Global Competitiveness Report 2015-2016 beberapa waktu lalu. Dalam laporan tersebut, indeks daya saing Indonesia tahun ini tercatat berada di peringkat ke-37 dari 140 negara yang dinilai. Peringkat Indonesia beradafi atas negara-negara seperti Portugal yang berada di tingkat 38, Italia di peringkat 43, Rusia di peringkat 45, Afrika Selatan di peringkat 49, India di peringkat 55, dan Brazil yang berada di peringkat 75.
Di level ASEAN sendiri, peringka Indonesia masih berada di bawah tiga negara tenangga, yaitu Singapura yang berada di tingkat 2, Malaysia yang berada di tingkat 18, dan Tahiland yang berada di tingkat 32.namun demikian, Indonesia masih mengungguli Filipina yang berada di Peringkat 47, Vietnam di peringkat 56, Laos diperingkat 83, Kamboja di peringkat 90, dan Myanmar di peringkat 131.
Dalam laoran-laporan World Economic Forum terdahulu tercatat daya saing global Indonesia sempat berada di peringkat 54 pada tahun 2009, lalu naik ke peringkat 44pada tahun 2010. Peringkat Indonesia kembali turun keperingkat 46 tahun 2011 dan peringkat 50 pada tahun 2012, untukselanjutnya kembali naik ke peringkat 38 pada tahun 2013. Tahun lalu, indeks daya saing indonesia kembali naik ke peringkat 34, dan turun ke peringkay 37 pada tahun ini
Sebagai informasi, dengan menggabungkan data kuantitatif dan survei, penilaian peringkat daya saing global ini di dasarkan pada 113 indikator yang dikelompokan dalam 12 pilar daya saing. Kedua belas pilar tersebut yaitu institusi, infrastruktur, kondisi dan siatuas ekonomi makro, kesehatan dan pendidikan dasar, penidikan tingkat atas dan pelatiha, efensiasi pasar, efensiansi tenaga kerja,pengembangan pasar finansial, kesiapan teknologi, ukura pasar, lingkungan bisnis, dan inovasi. Dari keduabelas pilar tersebut, lima diantaranya terkait langsung dengan ketersediaan dan kualitas sumber daya manusia penelitian. Terutama faktor kesiapan teknologi dan inovasi sangat terkaitdengan SDM peneliti dan institusi/lembaga penelitian.
Saudara-saudara yang saya hormati,
Sekali lagi keterkaitan antara tersedianya SDM peneliti dengan kesiapan teknologi dan inovasi agaknya sangat erat. Karena bagimanapun, banyak sekali penelitia terapan yang menghasilkan inovasi-inovasi baru termasuk di dalamnya teknologi baru yang digunakan dalam proses produksi, proses budi daya, proses pertanian, proses panenen dan lain-lain, yang hal itu semua pada gilirannya akan meningkatkan produktifitas dan daya saing nasional.
Jika menilik kembali arah pemerintahan saat ini yaitu Nawa Cita, terutama Nawa Cita keenam “Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional sehingga bangsa Indonesia bisa masu dan bangkit bersama bangsa-bangsa Asia lainnya”, dan Nawa Cita ke tujuah “Mewujudkan kemandirian ekonmi dengan menggerakan sektor-sektor strategis ekonomi domestik”.
Kemudian kedua butir Nawa Cita tersebut diterjemahkan ke dalam Program-program pembangunan secara nyata, sebagai beriktu :”Pertama Program Wajib yaitu Pendidikan, kesehatan, pengentasan kemiskinan. Kedua. Program Prioritas yaitu ketahanan pangan, ketahanan energi dan infrastruktur. Ketiga yaitu Program Dukungan yaitu Reformasi birokrasi.
Nah, dengan melihat arah kebijakan dan program-program penting tersebut, kiita dapat menentukan bahwa segala upaya danpengerrahan sumber daya harus di arahkan kepada program-program tersebut akan berhasil. Kebutuhan akan teaga penelitian dan istitusi atau unit kerja peneliti baik di Perguruan Tinggi maupun lembaga-lembaga penelitian yang lain, utama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) juga diarahkan untuk mendukung program-program tersebut. Kegiatan-kegiatan penelitian dan sumber daya penelitian juga diarahkan untuk membantu mensukseskan program-program tersebut.
Oleh karena itu, yang paling penting tentulah pemetaan dan up dating data kita secara terus menerus tentang berbagai hal terkait penelitian, agar daat digunakan sebagai bahan pengambilan keputusan kebijakan atas masalah-masalah atara di kementrian ristek dan dikti, dan LIPI tidak selalu sama. Menurut catatan, saat ini terdapat 8 ribu peneliti LIPI dan sekitar 16 ribu orang penelitian di Lingkungan Perguruan Tinggi. Kemudian selebihnya di lembaga swasta belum diketahui pasti jumlahnya. Sementara itu, data empat tahun belanja untuk riset (penelitian) di Indonesia sekitar 0,08% dai GDP atau sekitar 0,9% dari APBN, dan Thailanf sebesar 0,25% baru GDP. Ini berarti Indonesia ketinggalan cukup jauh dalam hal penelitian jika dilihat dari belanja penelitiannya.
Mengapa kegiatan riset atau penelitian di Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan negara laian. Pertama , soal mentalitas. Aspek ini memegang peran penting karena menyangkut cara pandang terhadap sebuah masalah. Kalau riset dipandang penting tentulah menjadi penting dalam praktiknya. Mentalitas yang menghargai riset/penelitian dan tidak hanya tunduk pada tujuan jangka pendek. Mentalitas investasi yang mencari temuan baru, mentalitas melakukan perubahan besar, mentalitas penelitian yang selalu menghasilkan perbaikan.
Perlunya perubahan cara pandang ini tentunya diarahkan kepada pemerintah dan peneliti sendiri. Kepada pemerintah sebenarnya, respon dari pemerintah Bapak Jokowi dan Bapak Jusuf Kalla, sudah berubah dari pemerintah sebelumnya. Respon itu antara lain membentukKemnetrian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, ini tentunya akan mengubah focus dari penyelenggara pendidikan tinggi, yaitu untuk lebih memperhatikan penelitian (riset), dan tidak hanya menyediakan pasokan tenaga kerja untuk industri semata.
Perubahamentalitas juga dapat diarahkan kepada para civitas perguruan tinggi, bahwa mereka harus kembali ke jati diri yaitu sebagian waktunya digunakan unutk penelitian, dan bukan hanya untuk mengajar atau menjadi dosen di depan kelas. Mengubah hal ini tentunya tidak mudah, karena menyangkut masalah insentif yang ada. Menjadi dosen dan mengajar agaknya lebih menarik, karena dibayar langsung tunai atau memperoleh imbalan dalam jangka pendek,sedangkan melakukan penelitian hanya akan memberikan credit point, penerimaan imbalan dapat terjadi dalam jangka yang lama walaupun tidak dapat dipungkiri juga ada insentif tunainnya. Itulah sebabnya, banyak akademisi diduga memilih tambahanjam mengajar dibandingkan menjadi peneliti.
Kedua,adalah organisasi Riset, dalam hal ini lebaga-lembaga riset, komunitas riset, kaukus riset dan lain sebagainya. Nampaknya di indonesia lebaga itu bisa dihitung jari. Sedangkan di negara lain seperti Korea Selatan misalnya, di tiap-tia fakultas ada lebaga riset sendiri. Disana per fakultas ada lembaga risetnya sendiri yang dipimpin oleh seorang Koordinator Riset yang umunya bergelar profesor. Lembaga Perguruan Tingggi disiapkan untuk riset, agar dapat membawa perubahan besar.
Jadi sebenarnya kondisi riset di Indonesia saat inimasih memiliki keterbatasan, baik dari segi biaya maupun SDM penelitianya. Belanja riset kita masih di dominasi 84% nya dari APBN dan industri swasta baru menyumbang 16% saja. Ini tentu harus segera diubah. Pihak swasta, baik perusahan-perusahaan di berbagai industri maupun lebaga-lembaga peneliti swasta harus diransang dan iberi insentif agar dapat meningkatkan kegiatan penelitian. Insentif itu dapat berupa insentif perpajakan atau insentif lainnya.
Saudara-saudara yang saya hormati
Kuantitas dan kualitas kegiatan penelitian kita yang dirasa masih kurang, sudah tentu akan melemahkan daya saing bangsa. Karena, erlu kita lakukan langkah-langkah perbaikan guna meningkatkan jumlah kegiatan penelitian dan kualitas hasil-hasilnya. Hasil karya penelitian harus dapat dihubungkan dengan hasil karya yang dipatent-kan ataupunn digunakan dalam industri secara massal atau untuk perubahan kebijakan publik untuk keperluan masyarakat banyak.
Kebali lagi kepada masalah mengatasi masalah ini, kita dapat mencermati program wjib, program prioritas dan program dukungan dalam rangka mewujudkan Nawa Cita tersebut d atas. Jadi kebutuhan akan ketenaga peneliti, dpat ditentukan dengan melakukan investasi terlebihdahulu, dan kemudian menetapkan beberapa area yang mendukung program-program prioritas tersebut. Dan demi meningkatkan daya saing secara nasional, dua pilar penting yaitu proram-proram pendidikan tinggi dan program-program untuk memacu terjadinya inovasi-inovasi harus menjadi prioritas untuk dilaksanakan.
Namum demikian, rekrutment tenagga penelitian menjadi ASN (PNS dan PKK) dapat ditetapkan menurut kebutuhan saat ini dan periraan kebutuhan yang akan datang yang dilakukan secara cermat. Mengingat pada saat ini, pemerintah sedang melakukan kebijakan moratorium terbatas dalam rekrutment ASN.Pada saat ini yang diutamakan pengelolaan SDM yang ada terlebih dahulu, dan kemudian melakukan redistribusi pegawai dan meningkatkan kapasitas. Misalnya saja, dapat dihitunh kebituhan tenaga peneliti apa yang dibutuhkan, utnuk melaksanakan kegiatan penelitian yang diperlukan, maka dapat dipertimbang kebutuahn rekruitment tanaga peneliti.
Kami berpendapat, dan lebih cenderng mengembangkan lembaga penelitian dan perguruan tinggi guna meningkatkan kegiatan dan hasil penelitian, dari pada serta merta menambah ASN terutama melalui rekruitment CPNS untuk ktenaga peneliti. Namun demikian, sekiranya menurut perhitungan yang cermat, tenaga peneliti harus itambah kami akan melakukan kajian secara internal dan eksternal baik dengan pihak Kementrian Ristek dan Dikti maupun Kementrian Keuangan, dan bahkan jika diperlukan dapat dibicarakan dalam KPRBN (Komite Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional) atau sidang kabinet. Pada dasarnya kebijakan moratorium bukan berarti sama sekali tidak membuka rekruitment CPNS, akan tetapi secara selektif.
Kebijakan tersebut ditempuh karena mengingat kondisi keuangan negara kita masih membutuhkan banyak sekali dana anggaran untuk pengembangan insfrastruktut, kesehatan, pendidikan dan pengetasan kemiskinan. Ruang fiskal pada APBN kian menyempit karena digunakan sebagian untuk belanja rutin, terutama belanja pegawai aparatur. Hal ini mendorong kita menyuusun peta jalan menuju ASN yang smart, Aparatur Sipil Negara yang tidak terlalu banyak namun berkualitas. Saat ini ratio PNS terhadap jumlah penduduk sekitar 1,7%, karena jumlah PNS lebih dari 4,5 juta orang. Memang ratio tersebut masih boleh dikatakan “moderat” dibandingkan beberapa negara ASEAN lainnya. Namun , membangun profile ASN yang berkualitas dunia memerlukan berbagai langkah berani termasuk untuk melakukan “rasinalisasi”. Oleh karena itu, langkah CPNS harus dilakukan secara cermat dan hati-hati karena itu investasi 30 tahun ke depan, dan harus pula memepertimbangkan PND yang pensiun. Sehingga pertumbuhan jumlah PNS tidak mengalami lonjakan seperti 10 tahun terakhir.
Saudara-saudara yang saya hormati,
Menghasapi persaingan di lingkungan ASEAN memang mau tidak mau harus meningkatkan daya saing, ke depannya, anggaran di bidang riset/penelitian harus ditingkatkan terus, tentu hal ini memerluan perjuangan di tingkat Pemerintah dan DPR agar peningkatan anggaran belanja penelitian bisa di tingkatkan secara signifikan. Dengan demikian pula kesejahteraan peneliti juga hasrus menjadi bagian dari reformasi, sehingga sistem meritrokrasi dalam manajemen ASN dapat di tegakan, dimana yang produktif atau yang berkinerja tinggi tetu diberikan insentif, dan yang tidak produktif tentu tidak mendapatkannya.
Demikian yang saya dapat sampaikan, selamat kepada adik-adik dan bapak/ibi yang hari ini wisuda serta kalangan civitas akademika Universitas Borobudur tentu saya mendorong agar terus berkara dan membberikan yang terbaik bagi nusa dan bangsa. Terimaksih.

Wabillahitaufikwalhidayah, Wassalamulaikum Wr. Wb

Mentri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi RI


Prof. Dr. H, Yuddy Chrisnandi, ME


Referansi: podato ini di sampaikan pada saat wisuda Universitas Borobudur pada tanggal 27 Maret 2016, di Jakarta Convention Center Jakarta.

Comments

Iklan

loading...

Popular posts from this blog

Contoh Surat Penawaran Jasa Hukum Sederhana

Draft Perjanjian Perdamaian atas Kehilangan Sepeda Motor

Perbandingan Hukum Pidana : Asas Legalitas di dalam KUHP Korea